Selasa, 05 Oktober 2010

SERAJAH PERADABAN ISLAM (2)

II. Periode Klasik (650-1250 M)
1. Masa Khulafa al-Rasyidin
1. Abu Bakar As-Siddik (632-634 M)
Sebagai pemimpin umat Islam setelah Rasul, Abu Bakar disebut Khalifah Rasulillah [pengganti Rasul] yang dalam perkembangan selanjutnya disebut khalifah saja. Abu Bakar menjadi khalifah di tahun 632 M dan usia kepemimpinannya hanya dua tahun, karena pada tahun 634 M Abu Bakar meninggal dunia. Masanya yang singkat itu banyak dipergunakan untuk menyelesaikan persoalan dalam negeri terutama tantangan atau sikap membangkan dari suku-suku bangsa Arab yang tidak mau tunduk pada pemerintahan Madinah.
Alasan yang sangat substansial dari sikap membangkan adalah mereka menganggap bahwa perjanjian yang dibuat dengan Nabi Muhammad, dengan sendirinya tidak mengingat lagi dan batal, setelah Nabi wafat. Dengan dasar ini, maka mereka kemudian mengambil sikap menentang Abu Bakar, sebagai pemimpin umat Islam. Karena sikap membangkang, menentang dan keras kepala yang dapat membahayakan agama dan pemerintahan, maka Abu Bakar menyelesaikan persoalan tersebut dengan apa yang disebut Perang Riddah [perang melawan kemurtadan]. Dalam perang Riddah ini, Khalid bin al-Walid adalah jenderal yang banyak dalam mengatasi perang tersebut.
Setelah Abu Bakar, menyelesaikan persoalan dalam negeri, kemudian mulai mengirimkan kekuatan-kekuatan ke luar Arabia. Khalid bin al-Walid dikirim ke Irak dan dapat menguasai al-Hirah di tahun 634 M8. Ke Syria dikirim ekspediri di bawah pimpinan tiga jenderal yaitu Amr Bin al-Aas, Abu Ubaidah, Yazid bin Abi Sufyan, dan Syurabbil bin Hasanah. Sebelumnya pasukan dipimpin oleh Usamah yang masih berusia 18 tahun. Kemudian untuk memperkuat tentara ini, Khalid bin al-Walid diperintahkan meninggalkan Irak, melalui gurun pasir yang jarang dilalui dan ia sampai ke Syria delapanbelas hari kemudian.
Pada tahun 634 M Abu Bakar meninggal dunia, sementara barisan depan pasukan Islam berada di Palestina, Irak dan kerajaan Hirah. Ketika Abu Bakar sakit dan merasa ajalnya sudah dekat, maka ia bermusyawarah dengan para pemuka sahabat dan mengangkat Umar bin Khattab sebagai penggantinya dengan maksud untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan dan perpecahan di kalangan umat Islam. Kebijakan Abu Bakar tersebut, diterima umat Islam dan secara beramairamai membaiat Umar bin Khattab untuk menjadi khalifah kedua.
2. Umar bin Khattab
Umar bin Khattab, menyebut dirinya sebagai khalifah Khalifati Rasulillah [pengganti dari pengganti Rasulullah]. Selain itu, Umar bin Khattab, juga memperkenalkan istilah Amir al-Mu’minin [Komandan orang-orang yang beriman]. Usaha-usaha yang telah dilakukan Abu Bakar dilanjutkan oleh khalifah kedua Umar bin Khattab.
Di zaman Umar bin Khattab, gelombang ekspansi [perluasan daerah kekuasaan dan dakwah] pertama terjadi yaitu ibu kora Syria Damaskus jatuh pada tahun 635 M dan setahun kemudian, setelah tentara Bizantium kalah dipertempuran Yarmuk, maka seluruh daerah Syria jatuh di bawah kekuasaan dan dakwah Islam. Syria dijadikan sebagai basis, maka ekspansi diteruskan ke Mesir di bawah pimpinan ‘Amr bin ‘Aas dan ke Irak di bawah pimpinan Sa’ad bin Abi al-Waqqas. Iskandaria, ibu kota Mesir ditaklukkan dan jatuh di bawah kekuasaan Islam pada tahun 641 M. Kemudian al- Qadisiyah sebuah kota dekat Hirah di Iraq jatuh tahun 637 M dan dari sana serangan dilanjutkan ke ibu kota Persia, al-Madain jatuh pada tahun itu juga dan pada tahun 641 M, Mosul dapat dikuasi. Dengan demikian, pada masa khalifah Umar bin Khattab, wilayah kekuasaan dan dakwah Islam telah meliputi Jazirah Arabiah, Palestina, Syria, Irak, Persia dan Mesir.
Pada zaman Umar bin Khattab, perluasan daerah dakwah terjadi dengan cepat, sehingga khalifah Umar bin Khattab segera mengatur administrasi negara dengan mencontoh administrasi yang sudah berkembang terutama di Persia. Administrasi pemerintahan diatur menjadi delapan wilayah propinsi, yaitu : Mekkah, Madinah, Syria, Jazirah, Basrah, Kufah, Palestina, dan Mesir. Beberapa departemen yang dipandang perlu didirikan. Pada masanya mulai diatur dan ditertibkan system pembayaran gaji dan pajak tanah. Pengadilan didirikan dalam rangka memisahkan lembaga yudikatif dengan lembaga eksekutif. Untuk menjaga keamanan dan ketertiban, jawatan kepolisian dibentuk. Demikian pula jawatan pekerjaan umum12. Selain itu, Umar juga mendirikan Bait al-Mal, menempa mata uang, dan menciptakan tahun hijrah.
Periode pemerintahan Umar bin Khattab selama sepuluh tahun [13-23 H/634-644 M] dan masa jabatannya berakhir dengan kematian, karena dibunuh oleh Abu Lu’lu’ah seorang budak dari Persia. Untuk menentukan penggantinya, Umar bin Khattab tidak menempuh jalan yang dilaukakn Abu Bakar. Umar bin Khattab, menunjuk enam orang sahabat, yaitu : [1] Usman, bin Affan [2] Ali bin Abi Thalib, [3] Thalhah, [4] Zubair, [5] Sa’ad bin Abi Waqqas, dan [6] Abdurrahman bin Auf, dan meminta mereka untuk memilih salah seorang diantaranya menjadi khalifah. Setelah Umar bin Khattab wafat, tim ini bermusyawarah dan berhasil menunjuk Usman bin Affan sebagai khalifah ketiga, tentu saja melalui persaingan yang agak ketat dengan Ali bin Abu Thalib.
3. Utsman bin Affan
Pemerintahan Usman bin Affan berlangsung selama 12 tahun dan terjadi perluasan wilayah kekuasaan dan dakwah sampai ke Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes, dan bagian yang tersisa dari Persia, Transoxania, dan Tabaristan berhasil disebut. Ekspansi Islam pertama berhenti sampai di sini.
Pada masa pemerintahan Usman bin Affan, di kalangan umat Islam mulai terjadi perpecahan karena soal pemerintahan. Muncul perasaan tidak puas dan kecewa terhadap sistem pemerintahannya. Kepemimpinan Usman bin Affan memang sangat berbeda dengan kepemimpinan Umar bin Khattab, hal ini mungkin disebabkan umurnya yang lanjut (diangkat dalam usia 70 tahun) dan sifatnya yang lemah lembut.
Selain itu, salah satu faktor yang menyebabkan banyak rakyat kecewa terhadap kepemimpinan Usman adalah kebijakannya mengangkat keluarga dalam kedudukan tinggi. Yang terpenting diantaranya adalah Marwan bin Hakam dan dialah pada dasarnya yang menjalankan pemerintahan, sedangkan Usman hanya menyandang gelar khalifah.
Setelah banyak anggota keluarganya yang duduk dalam jabatan-jabatan penting, Usman laksana boneka di hadapan kerabatnya itu. Dia tidak dapat berbuat banyak dan terlalu lemah terhadap keluarganya. Dia juga tidak tegas terhadap kesalahan bawahan dan harta kekayaan negara, oleh kerabatnya dibagi-bagikan tanpa terkontrol oleh Usman sendiri.
Akhirnya pada tahun 35 H/655 M, Usman dibunuh oleh kaum pemberontak yang terdiri dari orang-orang yang kecewa terhadap kebijakan pemerintahannya dan sebagai penggantinya adalah Ali bin Abu Thalib. Jasa Khalifah Usman diantaranya membangun bendungan untuk menjaga arus banjir yang besar dan mengatur pembagian air ke kota-kota. Usman juga membangun jalan-jalan, jembatan-jembatan, mesjid-mesjid dan memperluas mesjid Nabi di Madinah.
4. Ali bin Abu Thalib
Setelah Usman bin Affan wafat, masyatakat Islam beramai-ramai membait Ali bin abu Thalib sebagai khalifah ke empat. Ali bin abu Thalib memerintah hanya enam tahun dan nasbinya sama dengan khalifah Umar bin Khattab dan Usman bin Affan yaitu mati terbunu. Selama masa pemerintahannya, Ali menghadapi berbagai tantangan dan pergolakan, sehingga pada masa pemerintahannya tidak ada masa sedikit pun yang dapat dikatakan stabil.
Setelah menduduki jabatan sebagai khalifah, Ali bin abu Tahlib, mulai memecat para gubernur yang diangkat oleh Usman. Ali, yakin bahwa pemberontakanpemberontakan yang terjadi karena keteledoran mereka. Selain itu, dia juga menarik kembali tanah yang dihadiakan Usman kepada penduduk dengan menyerahkan hasil pendapatannya kepada negara dan memakai kembali sistem distribusi pajak tahunan di antara orang-orang Islam sebagaimana pernah diterapkan pada masa khalifah Umar bin Khattab.
Ali bin abu Thalib, mendapatkan tantangan dari pihak pendukung Usman Bin Affan, terutama Mu’awiah, Gubernur Damskus, dari golongan Talhah dan Zubeir di Mekkah dan dari kaum Khawarij. Ali bin abu Thalib, menghadapi penberontakan Thalhah, Zubair dan Aisyah. Alasan mereka, Ali tidak mau menghukum para pembunu Usman bin Affan dan meraka menuntut bela terhadap darah Usman yang telah ditumpahkan secara zalim. Ali sebenarnya ingin menghindari perang, sehingga Ali mengirimkan surat kepada Thalhah dan Zubair agar keduanya mau berunding untuk menyelesaikan perkara itu secara damai. Namun ajakan tersebut ditolah dan pertempuran kedua belah pihak tidak dapat dihindari. Berkobarkan pertempuran yang dahsat yang disebut dengan “Perang Jamal” (Perang Berunta) dan Aisyah (istri Nabi) terlibat dalam perang melawan Ali bin abu Thalib dengan menunggang unta. Ali bin abu Thalib berhasil mengalahkan lawannya, Zubair dan Thalhah terbunuh ketika hendak melarikan diri, sedangkan Aisyah ditawan dan dikirim kembali ke Madinah.
Kebijakan Ali bin abu Thalib, juga mengakibatkan timbulnya perlawanan dari gubernur Damaskus Mu’awiyah yang didukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggi yang merasa kehilangan kedudukan dan kejayaan mereka. Jadi, setelah Ali bin abu Thalib, berhasil memadamkan pemberontakan Zubair, Thalhah dan Aisyah, kemudian Ali bergerak dari Kufah menuju Damaskus dengan sejumlah besar tentaranya. Pasukan Ali bertemu dengan pasukan Mu’awiyah di Shiffin dan pertempuran tidak dapat dihindari. Pertempuran yang terjadi di sini antara Ali dengan Mu’awiyah dikenal dengan nama “perang shiffin”. Perang ini diakhiri dengan tahkim (arbitrase), tapi tahkim tersebut ternyata tidak menyelesaikan persoalan, bahkan menyebabkan timbulnya golongan ketiga yaitu golongan al-Khawarij, orang-orang yang keluar dari barisan Ali bin abu Thalib yang berbalik menentang Ali dan Mu’awiyah.
Diakhir ujung masa pemerintahan Ali bin abu Thalib, umat Islam terpacah menjadi tiga kekuatan politik, yaitu : [1] golongan Mu’awiyah, [2] golongan Syi’ah (pengikut) Ali, dan [3] golongan al-Khawarij (kumpulan orang-orang yang keluar dari barisan Ali bin abu Thalib). Tanpaknya keadaan ini tidak menguntungkan Ali bin abu Thalib, sebab pasukannya semakin lemah dan sementara posisi Mu’awiyah semakin kuat. Maka pada tanggal 20 Ramadhan 40 H (660 M), Ali bin abu Thalib terbunu oleh salah seorang anggota Khawarij.
Kedudukan Ali bin abu Thalib sebagai khalifah kemudian dijabat oleh anaknya Hasan selama beberapa bulan. Tetapi kedudukan Hasan-pun lemah, sementara Mu’awiyah semakin kuat dan akhirnya Hasan membuat perjanjian damai. Perjanjian ini dapat mempersatukan umat Islam kembali dalam satu kepemimpinan politik di bawah Mu’awiyah bin abu Sufyan. Tetapi di sisi lain, perjanjian itu juga menguntungkan Mu’awiyah yang menyebabkannya menjadi seorang penguasa absolut dalam Islam. Maka tahun 41 H (661 M), tahun persatuan itu, dikenal dalam sejarah Islam sebagai tahun Jama’ah (‘am jama’ah). Dari sisi tercatat sebagai sejarah berakhirnya apa yang disebut dengan nama Khulafa’ur Rasyidin, dan kemudian sebagai awal dimulailah kekuasaan Bani Umayyah dalam sejarah politik Islam.

2. Dinasti Ummayah
Memasuki masa kekuasaan Muawiyah menjadi awal kekuasaan Bani Umayyah dalam bentuk yang berbeda dengan masa khulafah rasyidin. Pemerintahan yang bersifat demokratis pada masa khulafah rasyidin berubah menjadi monarchiheridetis [kerajaan turun temurun]. Artinya, ada perubahan pemikiran politik dalam sistem pemerintahan Islam. Sisi lain yang perlu dicermati adalah kekhalifahan Muawiyah diperoleh melalui kekerasan, diplomasi, tipu daya dan tidak melalui musyawarah dengan sistem pemilihan atau suara terbanyak. Suksesi kepemimpinan secara turun temurun dimulai ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyat untuk menyatakan setia terhadap anaknya Yazid. Muawiyah bermaksud mencontoh monarchi ala Persia dan Bizantium. Walaupun di satu sisi, Muawiyah tetap mempertahankan istilah khalifah, namun dia memberikan interpretasi baru dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan tersebut. Muawaiyah menyebutnya Khalifah Allah dalam pengertian “penguasa” yang diangkat oleh Allah.
Kekuasaan Bani Umayyah berumur kurang lebih 90 tahun. Ibu kota negara dipindahkan Muawiyah ke Damaskus, tempat ia berkuasa sebagai gubernur sebelumnya. Khalifah-khalifah besar dinasti Bani Umayyah adalah Muawiyah bin Abi Sufyan [661-680 M], Abd al-Malik bin Marwan [685-705 M], al-Walid bin Abdul Malik [705-715 M], Umar bin Abd al-Aziz [717 – 720 M], dan Hasyim bin Abd al-Malik [724 –743 M].
Pada masa Bani Umayyah, ekspansi dan dakwah Islam yang tehenti pada masa khalifah Usman bin Affan dan Ali bin Abu Thalib, dilanjutkan kembali oleh dinasti ini. Perluasaan kekuasaan dan dakwah yang dilakukan dinasti Muawiyah, dimulai dari menguasai Tunisia, kemudian di disebelah timur, Muawiyah menguasai daerah Khurasan samapi ke sungai Oxus, Afganistan sampai ke Kabul, kota Bizantium dan Konstantinopel. Ekspansi ketimur kemudian dilanjutkan oleh khalifah Abd al-Malik dengan menguasai Balkh, Bukhara, Khawarizm, Ferghana dan Samarkand, bahkan sampai ke India dan dapat menguasai Balukhistan, Sind dan daerah Punjab sampai ke Maltan.
Ekspansi dan dakwah Islam ke Barat dilakukan oleh al-Walid bin Abdul Malik. Pada masa pemerintahan Walid merupakan masa ketenteraman, kemakmuran, ketertiban dan umat Islam merasa hidup bahagia. Masa pemerintahan walid berjalan kurang lebih sepuluh tahun dan tercatat suatu ekspediri militer dari Afrika Utara menuju wilayah barat daya, benua Eropa pada tahun 711 M. Maka setelah al-Jazair dan Marokko ditunduhkan, panglima perang Islam Tariq bin Ziyad menyebrangi selat antara Marokko dengan benua Eropa selat Gibraltar [Jabal Tarqi]. Tentara Spanyol dikalahkan dan Spanyol menjadi sasaran ekspansi dan dakwah Islam selanjutnya. Ibu kota Spanyol, Kordova dengan mudah dikuasai, kemudian menyusul kota-kota lain seperti Seville, Elvira, dan Toledo yang dijadikan ibu kota Spanyol yang baru setelah jatuhnya Kordova.
Pasukan Islam memperoleh kemenangan dengan mudah karena mendapat dukungan dari rakyat setempat yang sejak lama menderita akibat kekejaman penguasa. Di zaman Umar bin Abd al-Aziz, perluasan kekuasaan dilakukan ke Prancis melalui pegunungan Piranee yang dipimpin oleh Rahman bin Abdullah al-Ghafiqi dan melanjutkan perluasan ke Bordeau, Poitiers. Dari sana al-Ghafiqi menyerang Tours, dan dalam pertempuran yang terjadi di luar kota Tours, al-Ghafiqi terbunuh dan pasukannya mundur ke Spanyol. Dengan keberhasil ekspansi dan dakwah Islam ke beberapa daerah, baik ditimur maupun barat, wilayah kekuasaan dan dakwah Islam pada masa Bani Umayyah sangat luas. Daerah-daerah kekuasaan dan dakwah Islam meliputi Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, Jazirah Arabia, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia, Afhanistan, Pakistan, Purkmenia, Uzbek dan Kirgis di Asia Tengah.
Pada masa Dinasti Bani Umayyah, selain perluasan kekuasaan dan dakwah, Bani Umayyah juga banyak berjasa dalam pembangunan di berbagai bidang. Muawiyyah mendirikan dinas pos dan tempat-tempat tertentu dengan menyediakan kuda yang lengkap dengan perlatannya di sepanjang jalan. Muawiyah juga berusaha menertibkan angkatan bersenjata dan mencetak mata uang. Pada masanya, jabatan khusus seorang hakim [qadhi – seorang spesialis dibidangnya] mulai berkembang menjadi profesi tersendiri. Abd al-Malik, mengubah mata uang Bizantium dan Persia yang dipakai di daerah-daerah yang dikuasai Islam. Pada tahun 659, Abd al-Malik mencetak uang sendiri dengan menggunakan kata-kata dan tulisan Arab. Abd al-Malik, berhasil melakukan pembenahan adiministrasi pemerintahan dan memberlakukan bahasa Arab sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan Islam. Al-Walid bin Abd al-Malik [705-715] [putra Abd al-Malik], berkemauan keras dan berkemampuan melaksanakan pembangunan. Al-Walid bin Abd al-Malik, membangun panti-panti untuk orang catat dan semua personil yang terlibat dalam kegiatan humanis ini digaji oleh negara secara tetap.
Al-Walid bin Abd al-Malik, juga membangun jalan-jalan raya yang menghubungkan satu daerah dengan daerah lainnya, pabrik-pabrik, gedung-gedung pemerintah dan mesjid-mesjid yang megah. Keberhasil banyak dicapai oleh Dinasti Bani Umayyah, tetapi hal ini tidak berarti persoalan politik dalam negeri dapat dianggap stabil. Dalam perjalanan pemerintahan Muawiyah ada hal-hal yang tidak ditaati dalam isi perjanjian dengan Hasan bin Ali ketika Muawiyah akan naik tahta khalifah. Isi perjanjian tersebut adalah “persoalan penggantian pemimpin setelah Muawiyah diserahkan kepada pemilihan umat Islam”.
Maka api politik semakin membara ketika Muawiyah mendeklarasikan pengangkatan anaknya Yazid sebagai putera mahkota yang menyebabkan munculnya gerakangerakan oposisi di kalangan rakyat yang berakibat terjadinya perang saudara beberapa kali dan berkelanjutan. Analisis situasi politik. Sejumlah tokoh terkemuka di Madinah tidak mau menyatakan setia kepada Yazid bin Muawiyah ketika naik tahta sebagai khalifah. Kemudian Yazid bin Muawiyah mengambil sikap dengan mengirimkan surat perintah kepada gubernur Madinah, memintanya untuk memaksa penduduk mengambil sumpah setia kepadanya. Dengan cara ini, semua orang terpaksa tunduk, kecuali Husein bin Ali dan Abdullah bin Zubair sebagai lawan politik. Bersamaan dengan itu, Syi’ah [pengikut Ali] melakukan konsolidasi [penggabungan] kekuatan kembali. Perlawanan terhadap Bani Umayyah dimulai oleh Husein bin Ali, maka pada tahun 680 M, ia pindah dari Mekkah ke Kufah atar permintaan golongan Syi’ah yang ada di Irak, sebab umat Islam ini tidak mengakui Yazid sebagai khalifah. Kemudian mereka mengangkat Husein bin Ali sebagai khalifah. Akhirnya pertempuran antara kekuatan Yazid bin Muawiyah dengan Husein bin Ali tidak terelahkan dan dalam pertempuran yang tidak seimbang di Karbela [sebuah daerah di dekat Kufah], tentara Husein mengalami kekalahan dan Husein sendiri mati terbunuh dan yang sangat menyedihkan kepala Husein dipenggal dan dikirim ke Damaskus, sedangkan tubuhnya dikubur di Karbela.
Tanpaknya gerakan politik dan perlawanan orang-orang Syi’ah tidak padam dengan terbunuhnya Husein, tetapi gerakan mereka bahkan menjadi lebih keras dan gigih dan tersebar luas. Banyak gerakan politik dan pemberontakan yang dipelopori kaum Syi’ah dan yang termashur di antaranya adalah pemberontakan Mukhtar di Kufa pada tahun 685-687 M. Mukhtar, mendapat banyak pengikut dari kalangan kaum Mawali [umat Islam bukan Arab] yang berasal dari Persia, Armenia dan lain-lain yang dianggap sebagai warga negara kelas dua pada Dinasti Bani Umayyah. Tetapi, Mukhtar sendiri terbunuh dalam melawan gerakan oposisi lainnya, gerakan Abdullah bin Zubair, namun di satu sisi bin Zubair juga tidak berhasil menghentikan gerakan Syi’ah.
Gerakan politik dan perlawanan terhadap Bani Umayyah juga muncul dari gerakan oposisi di Mekkah yaitu Abdullah bin Zubair karena menolak sumpah setia pada Yazid bin Muawiyah. Abdullah bin Zubair, baru menyatakan dirinya secara terbuka sebagai khalifah setelah Husein Bin Ali terbunu. Tentara Yazid, kemudian mengepung Mekkah dan dua pasukan bertemu dan pertempuran pun tak terhindarkan. Namun peperangan terhentiu karena khalifah Yazid wafat dan tentara Yazid ditarik kembali ke Damaskus. Kekuatan dan gerakan Abdullah bin Zubair baru dapat dihancurkan pada masa khalifah Abd al-Malik. Tentara Abd al-Malik dipimpin al-Hajjaj berangkat menuju Thaif kemudian ke Madinah dan meneruskan perjalanan ke Mekkah, Ka’bah diserbu dan keluarga bin Zubair dan sahabatnya melarikan diri, sementara bin Zubair melakukan perlawanan dan akhirnya mati terbunuh pada tahun 73 H – 692 M35.
Selain gerakan-gerakan di atas, gerakan-gerakan anarkis yang dilancarkan kelompok Khawarij dan Syi’ah juga selalu dapat diredamkan. Maka dengan keberhasilan memberantas gerakan-gerakan tersebut, membuat orientasi pemerintahan dinasti Bani Umayyah dirahkan kepada pengamanan daerah-daerah kekuasaan di wilayah timur [meliputi kota-kota di sekitas Asia Tengah] dan wilayah Afrika begian utara dan bahkan membuka jalan untuk menaklukan Spanyol. Hubungan pemerintah dengan golongan oposisi membaik pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abd al-Aziz [717 – 720 M]. Ketika dinobatkan sebagai khalifah, Umar bin Abd al-Aziz menyatakan bahwa akan “memperbaiki dan meningkatkan negeri yang berada dalam wilayah Islam lebih baik dari pada menambah perluasan wilayah”36. Hal ini menunjukkan bahwa khalifah Umar bin Abd al-Aziz menentukan sikap perioritas utama adalah pembangunan dalam negeri. Meskinpun masa pemerintahannya sangat singkat, tetapi Umar bin Abd al-Aziz berhasil menjalin hubungan baik dengan golongan Syi’ah. Selain itu, Umar bin Abd al-Aziz juga memberi kebebasan kepada penganut agama lain untuk beribadah sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya. Pajak diperingan dan kedudukan kaum mawali disejajarkan dengan muslim Arab37.
Sepeninggal Umar bin Abd al-Aziz, kekuasaan Bani Umayyah berada di bawah khalifah Yazid bin Abd al-Malik [720 – 742 M]. Khalifah Yazid bin Abd al-Malik, sangat gandrung kepada kemewahan dan kurang memperhatikan kehidupan rakyat. Masyarakat pada mada khalifah Umar bin Abd al-Aziz, hidup dalam ketenteraman dan kedamaian, sedangkan pada zaman Yazid bin Abd al-Malik kedaan berubah menjadi kacau. Maka dengan latar belakang kepentingan etnis politis, masyarakat menyatakan konfrontasi terhadap pemerintahan Yazid bin Abd al-Malik. Kerusuhan terus berlanjut hingga masa pemerintahan khalifah Hisyam bin Abd Malik [724 – 743 M]. Pada masa pemerintahan Hisyam bin Abd Malik sebagai emberio berakhirnya dinasti Bani Umayyah, karena muncul satu kekuatan baru dari kalangan Bani Hasyim yang didukung oleh golongan mawali yang menjadi tantangan berat dan ancaman yang sangat serius. Maka, dalam perkembangan berikutnya kekuatan baru tersebut mampu menggulingkan dinasti Bani Umayyah dan menggantikannya dengan dinasti Bani Abbas.
Menurut sejarawan, bahwa sebenarnya Hisyam bin Abd al-Malik adalah seorang khalifah yang kuat dan terampil, tetapi karane gerakan oposisi terlalu kuat sehingga khalifah tidak berdaya mematahkan gerakan-gerakan oposisi tersebut. Kemudian sepeninggal Hisyam bin Abd al-Malik, muncul khalifah-khalifah Bani Umayyah yang lemah dan juga bermoral buruk. Keadaan ini memperkuat gerakan-gerakan oposisi dan akhirnya pada tahun 750 M, daulat Bani Umayyah digulingkan Bani Abbas yang bersekutu dengan Abu Muslim al-Khurasani. Khalifah terakhir dari dinasti Bani Umayyah yaitu Marwan bin Muhammad melarikan diri ke Mesir, kemudian ditangkap dan dibunuh di Mesir.
Dari perjelanan sejarah pemerintahan dan kekuasaan dinasti Bani Umayyah ini, ada beberapa faktor kelemahan yang menyebabkan dan membawa kehancuran dinasti tersebut. Faktor-faktor tersebut, antara lain : [1] Sistem pemerintahan khalifah melalui garis keturunan adalah sesuatu yang baru bagi tradisi Arab yang lebih menekankan senioritas. Ketidak jelasan sistem pergantian khalifah, menyababkan terjadinya persaingan tidak sehat di kalngan anggota keluarga istina. [2] Latar belakang terbentuknya dinasti Bani Umayyah tidak dapat dipisahkan dari konflik-konflik politik yang terjadi di masa Ali bin Abi Thalib. Siswa-siwa pengkut Ali [Syi’ah] dan Khawarij terus menjadi gerakan oposisi, baik secara terbuka seperti di masa awal dan akhir maupun secara tersembunyi seperti di masa pertengahan kekuasaan Bani Umayyah. Penumpasan terhadap gerakan-gerakan ini banyak menyedot kekuatan pemerintah. [3] Pada masa kekuasaan Bani Umayyah, pertentangan etnis antara suku Arabia Utara [Bani Qays] dan Arabia Selatan [Bani Kalb] yang sudah ada sejak zaman sebelum Islam makin meruncing. Perselihan suku-suku ini mengakibatkan para penguasa Bani Umayyah mendapat kesulitan untuk menggalan persatuan dan kesatuan. Selain itu, sebagian besar golongan mawali [non Arab], terutama di Irak dan wilayah begian timur lainnya, merasa tidak puas karena status mawali menggambarkan suatu inferioritas, ditambah dengan keangkuhan bangsa Arab yang diperlihatkan pada masa Bani Umayyah. [4] Lemahnya pemerintahan daulat Bani Umayyah juga disebabkan oleh sikap hidup mewah di lingkungan istana, sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan. Selain itu, golongan agama banyak yang kecewa karena perhatian penguasa terhadap perkembangan agama sangat kurang. [5] Penyabab utama tergulingnya kekuasaan dinasti Bani Umayyah adalah munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan al-Abbas bin Abd al-Muthalib. Gerakan ini mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim dan golongan Syi’ah dan kaum mawali yang merasa dikelasduakan oleh pemerintahan Bani Umayyah.
3. Dinasti Abbasiyah
Dinasti Abbasiyah adalah suatu dinasti (Bani Abbas) yang menguasai daulat (negara) Islamiah pada masa klasik dan pertengahan Islam. Daulat Islamiah ketika berada di bawah kekuasaan dinasti ini disebut juga dengan Daulat Abbasiyah. Daulat Abbasiyah adalah daulat (negara) yang melanjutkan kekuasaan Daulat Umayyah. Dinamakan Dinasti Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan Abbas (Bani Abbas), paman Nabi Muhammad saw. Pendiri dinasti ini adalah Abu Abbas as-Saffah, nama lengkapnya yaitu Abdullah as-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas.
Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial , dan budaya. Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan pola politik itu, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbas menjadi lima periode:
1. Periode Pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M), disebut periode pengaruh Persia Pertama.
2. Periode Kedua (232 H/847 M – 234 H/945 M), disebut masa pengaruh Turki Pertama.
3. Periode Ketiga (334 H/945 M – 447 H/1055 M, masa kekuasaan Dinasti Buwaih dalam pemerintahan Khilafah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia Kedua.
4. Periode Keempat (447 H/1055 M/ - 590 H/1194 M), masa kekuasaan Dinasti Saljuk dalam pemerintahan Khilafah Abbasiyah; biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki Kedua.
5. Periode Kelima (590 H/1194 M – 656 H/1258 M), masa Khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Bagdad.
Dalam zaman Daulah Abbasiyah, masa meranumlah kesusasteraan dan ilmu pengetahuan, disalin ke dalam bahasa Arab, ilmu-ilmu purbakala. Lahirlah pada masa itu sekian banyak penyair, pujangga, ahli bahasa, ahli sejarah, ahli hukum, ahli tafsir, ahli hadits, ahli filsafat, thib, ahli bangunan dan sebagainya.
Zaman ini adalah zaman keemasan Islam, demikian Jarji Zaidan memulai lukisannya tentang Bani Abbasiyah. Dalam zaman ini, kedaulatan kaum muslimin telah sampai ke puncak kemuliaan, baik kekayaan, kemajuan, ataupun kekuasaan. Dalam zaman ini telah lahir berbagai ilmu Islam, dan berbagai ilmu penting telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Masa Daulah Abbasiyah adalah masa di mana umat Islam mengembangkan ilmu pengetahuan, suatu kehausan akan ilmu pengetahuan yang belum pernah ada dalam sejarah.
Kesadaran akan pentingnya ilmu pengetahuan merefleksikan terciptanya beberapa karya ilmiah seperti terlihat pada alam pemikiran Islam pada abad ke-8 M. yaitu gerakan penerjemahan buku peninggalan kebudayaan Yunani dan Persia.
Permulaan yang disebut serius dari penerjemahan tersebut adalah sejak abad ke-8 M, pada masa pemerintahan Al-Makmun (813 –833 M) yang membangun sebuah lembaga khusus untuk tujuan itu, “The House of Wisdom / Bay al-Hikmah”.
Adapun kebijaksanaan para penguasa Daulah Abbasiyah periode 1 dalam menjalankan tugasnya lebih mengutamakan kepada pembangunan wilayah seperti: Khalifah tetap keturunan Arab, sedangkan menteri, gubernur, dan panglima perang diangkat dari keturunan bangsa Persia. Kota Bagdad sebagai ibukota, dijadikan kota internasional untuk segala kegiatan ekonomi dan sosial serta politik segala bangsa yang menganut berbagai keyakinan diizinkan bermukim di dalamnya, ada bangsa Arab, Turki, Persia, Romawi, Hindi dan sebagainya.
Ilmu pengetahuan dipandang sebagai suatu hal yang sangat mulia dan berharga. Para khalifah dan para pembesar lainnya membuka kemungkinan seluas-luasnya untuk kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan. Pada umumnya khalifah adalah para ulama yang mencintai ilmu, menghormati sarjana dan memuliakan pujangga.
Kebebasan berpikir sebagai hak asasi manusia diakui sepenuhnya. Pada waktu itu akal dan pikiran dibebaskan benar-benar dari belenggu taklid, hal mana menyebabkan orang sangat leluasa mengeluarkan pendapat dalam segala bidang, termasuk bidang aqidah, falsafah, ibadah dan sebagainya.
Para menteri keturunan Persia diberi hak penuh untuk menjalankan pemerintahan, sehingga mereka memegang peranan penting dalam membina tamadun/peradaban Islam. Mereka sangat mencintai ilmu dan mengorbankan kekayaannya untuk memajukan kecerdasan rakyat dan meningkatkan ilmu pengetahuan, sehingga karena banyaknya keturunan Malawy yang memberikan tenaga dan jasanya untuk kemajuan Islam.
Kekhilafahan Abbasiyah tercatat dalam sejarah Islam dari tahun 750-1517 M/132-923 H. Diawali oleh khalifah Abu al-’Abbas as-Saffah (750-754) dan diakhiri Khalifah al-Mutawakkil Alailah III (1508-1517). Dengan rentang waku yang cukup panjang, sekitar 767 tahun, kekhilafahan ini mampu menunjukkan pada dunia ketinggian peradaban Islam dengan pesatnya perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di dunia Islam.
Di era ini, telah lahir ilmuwan-ilmuwan Islam dengan berbagai penemuannya yang mengguncang dunia. Sebut saja, al-Khawarizmi (780-850) yang menemukan angka nol dan namanya diabadikan dalam cabang ilmu matematika, Algoritma (logaritma). Ada Ibnu Sina (980-1037) yang membuat termometer udara untuk mengukur suhu udara. Bahkan namanya tekenal di Barat sebagai Avicena, pakar Medis Islam legendaris dengan karya ilmiahnya Qanun (Canon) yang menjadi referensi ilmu kedokteran para pelajar Barat. Tak ketinggalan al-Biruni (973-1048) yang melakukan pengamatan terhadap tanaman sehingga diperoleh kesimpulan kalau bunga memiliki 3, 4, 5, atau 18 daun bunga dan tidak pernah 7 atau 9.
Pada abad ke-8 dan 9 M, negeri Irak dihuni oleh 30 juta penduduk yang 80% nya merupakan petani. Hebatnya, mereka sudah pakai sistem irigasi modern dari sungai Eufrat dan Tigris. Hasilnya, di negeri-negeri Islam rasio hasil panen gandum dibandingkan dengan benih yang disebar mencapai 10:1 sementara di Eropa pada waktu yang sama hanya dapat 2,5:1.
Kecanggihan teknologi masa ini juga terlihat dari peninggalan-peninggalan sejarahnya. Seperti arsitektur mesjid Agung Cordoba; Blue Mosque di Konstantinopel; atau menara spiral di Samara yang dibangun oleh khalifah al-Mutawakkil, Istana al-Hamra (al-Hamra Qasr) yang dibangun di Seville, Andalusia pada tahun 913 M. Sebuah Istana terindah yang dibangun di atas bukit yang menghadap ke kota Granada.
Kekhilafahan Abbasiyah dengan kegemilangan ipteknya kini hanya tercatat dalam buku usang sejarah Islam.bDinasti Abbasiyiah membawa Islam ke puncak kejayaan. Saat itu, dua pertiga bagian dunia dikuasai oleh kekhalifahan Islam. Tradisi keilmuan berkembang pesat.
Masa kejayaan Islam, terutama dalam bidang ilmu pengetahun dan teknologi, terjadi pada masa pemerintahan Harun Al-Rasyid. Dia adalah khalifah dinasti Abbasiyah yang berkuasa pada tahun 786.
Saat itu, banyak lahir tokoh dunia yang kitabnya menjadi referensi ilmu pengetahuan modern. Salah satunya adalah bapak kedokteran Ibnu Sina atau yang dikenal saat ini di Barat dengan nama Avicenna.
Pada saat itu tentara Islam juga berhasil membuat senjata bernama ‘manzanik’, sejenis ketepel besar pelontar batu atau api. Ini membuktikan bahwa Islam mampu mengadopsi teknologi dari luar. Pada abad ke-14, tentara Salib akhirnya terusir dari Timur Tengah dan membangkitkan kebanggaan bagi masyarakat Arab.
Dinasti Abbasiyah jatuh setelah kota Baghdad yang menjadi pusat pemerintahannya diserang oleh bangsa Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan. Di sisi lain, tradisi keilmuan itu kurang berkembang pada kekhalifahan Usmaniyah.


SUMBER:
Afkar, abu.2007.Menelusuri derap Peradaban Islam (2)[download]. http://abuafkar.multiply.com. 1 Oktober 2010.
----------------.2007.Menelusuri derap Peradaban Islam (3)[download]. http://abuafkar.multiply.com. 1 Oktober 2010.
Sanaky,A.H. Hujair.2008.Peradaban Islam Masa Nabi[download]. http://sanaky.multiply.com. 30 September 2010.
-----------------.2008.Peradaban Islam Periode Klasik[download]. http://sanaky.multiply.com. 30 September 2010.
-----------------.2008.Peradaban Islam Pada Abad Pertengahan[download]. http://sanaky.multiply.com. 30 September 2010.
Syamsuri.2004.Pendidikan Agama Islam untuk Kelas XI Semester 2. Jakarta: Erlangga.
Tanpa Nama.2009.Sejarah Perkembangan Islam pada Abad Pertengahan[download]. http://cafebelajar.com. 30 September 2010.
Tanpa Nama.2008. Perkembangan Islam pada Zaman Modern[download]. http://hbis.wordpress.com. 30 September 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar